"Kalau beli saham ini bakal untung enggak, Kak?"
Kira-kira begitulah bunyi pertanyaan yang saya terima dari si bungsu. Ternyata 'demam' main saham sudah menulari adik saya.
Gemas dengan pertanyaannya, saya hanya asal merespons.
"Kalau saya tau saham apa saja yang bakal cuan, ya saya lagi kipas-kipas pake uang kali sekarang, enggak usah kerja."
Rasa gemas yang sama juga saya rasakan ketika membaca berita dan media sosial soal tingkah laku para investor baru. Para investor yang sedang 'panas-panasnya' berburu cuan di pasar modal.
Dari yang pakai uang pinjaman, sampai uang arisan orang lain untuk membeli saham. Cuplikan gambar berisi keluhan mereka tersebar di media sosial baik Twitter maupun Instagram. Walau tak diketahui jelas nama asli sang investor.
Salah satu nasabah mengaku berutang lewat 10 aplikasi pinjaman online (pinjol) senilai Rp170 juta guna modal investasi saham. Semua uangnya ia taruh di salah satu saham perusahaan pelat merah.
"Saya habis pinjam online 10 aplikasi dapat Rp170 juta. Saya haka (hajar kanan) Antam tadi langsung 500 lot. Tolong kak," tulis nasabah anonim tersebut, dikutip Senin (18/1).
Nasabah lainnya mengaku menggunakan uang arisan dan uang milik anggota Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk memborong saham perusahaan farmasi.
"Lho kalau KAEF ARB tidak ada yang beli, gimana ya pak? Karena saya beli saham KAEF menggunakan uang arisan dan uang titipan ibu-ibu PKK. Sekarang di portofolio sudah minus hampir 25 persen. Sebaiknya gimana ya pak solusinya? Bingung juga mau jawab apa kalau ditanya pak," tulis nasabah tersebut.
Ada pula mereka-mereka yang mengikuti 'sabda' tokoh publik di media sosial. Ketika A bilang 'saham ABCD menarik', lantas para investor pemula ini berbondong-bondong borong saham ABCD, tanpa tahu menahu apa itu perusahaan ABCD.
Bak lagu Agnez Mo, saham ini kadang-kadang tak ada logika.
Berharap untung tentu tak salah. Semua investor pasti terjun ke dunia saham tentu dengan melirik imbal hasil. Semakin besar, semakin baik. Apalagi dengan modal minim. Tak ada yang salah juga mengikuti rekomendasi. Apalagi dari orang-orang yang ahli atau mumpuni di pasar modal.
Tapi, ada baiknya membekali diri sendiri informasi sebelum terbawa arus.
Saya jadi teringat dua pesan Warren Buffett, investor tersukses di dunia.
"Risk comes from not knowing what you're doing." (Risiko lahir karena tidak paham hal yang sedang kau kerjakan)
"Be fearful when others are greedy and be greedy when others are fearful." (Berhati-hatilah ketika orang lain bernafsu, dan bernafsulah ketika orang lain berhati-hati.)
Menurut saya, dua kutipan ini relevan untuk mereka yang baru terjun di dunia saham.
Risiko ada karena Anda tidak tahu apa yang Anda lakukan. Sedangkan inti dari pesan kedua Buffet adalah Anda jangan selalu mengikuti apa yang banyak orang lain lakukan.
Ada kalanya Anda harus bersikap melawan arus dan menggunakan intuisi. Dan tentu intuisi baru akan lahir seiring bertambahnya pengetahuan.
Pedoman hidup ini membuat investasi Buffet berhasil mencatatkan return 1,8 juta persen dalam jangka panjang, 50 tahun.
Bukan waktu yang sebentar memang, tapi saya meyakini sesuatu yang berproses akan lebih bertahan daripada sesuatu yang instan.
Dua pesan itu pula yang menjadi pedoman saya ketika mencoba peruntungan di pasar modal dua tahun lalu.
Dengan bekal sedikit pengetahuan saat menjadi wartawan bursa beberapa tahun silam, saya mencoba membeli saham. Dari awal, saya menetapkan tujuan membeli saham untuk menabung jangka panjang bukan untuk trading. Modal awal saya pun benar-benar seminimal mungkin yakni Rp100 ribu.
Ketika pandemi corona merontokkan IHSG, portofolio saya pun ikut 'kebakaran'. Tapi, saya meyakini saham-saham yang pegang untuk menabung itu memiliki fundamental yang bagus.
Portofolio 'kebakaran' itu perkara sentimen negatif dari pandemi corona saja. Tanpa harus saya otak-atik atau panik, sejalan IHSG menguat, portofolio saya pun kembali sehat.
Investor Terus Tumbuh
Di sisi lain, saya cukup senang semakin banyak orang melek investasi.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor di pasar modal Indonesia termasuk obligasi, reksa dana hingga saham meningkat sebesar 56 persen dalam satu tahun. Per 29 Desember 2020, jumlahnya menjadi 3,87 juta Single Investor Identification (SID). Khusus investor saham, naik 53 persen menjadi 1,68 juta SID.
Bursa efek juga mencatat rekor transaksi perdagangan baru pada 2020 yakni 1,69 juta transaksi harian tertinggi pada 22 Desember.
Rata-rata frekuensi perdagangan pun tercatat tumbuh 32 persen menjadi 619 ribu kali per hari pada November 2020. Pertumbuhan tersebut menjadikan likuiditas perdagangan saham di Indonesia lebih tinggi dibandingkan bursa saham lain di kawasan Asia Tenggara.
Pada periode yang sama, Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) berangsur-angsur pulih dan mencapai nilai Rp9,18 triliun.
Deretan angka tersebut menunjukkan sebagian masyarakat Indonesia mulai melek investasi. Apapun motif di baliknya, baik ingin menabung atau mencari uang lebih di tengah kondisi pandemi saat ini, semakin banyak orang sadar pentingnya 'memutar' uang.
Pertumbuhan ini tentu menjadi hal yang positif. Apalagi jika diiringi dengan aksi yang teredukasi bukan spekulasi.
Pendidikan soal saham di media sosial dan media massa pun semakin banyak. Mesin pencari bak tambang informasi yang tak akan habis untuk digali.
Tak ada ruginya membekali diri agar semakin mantap untuk berinvestasi, bukan hanya terbawa arus.
Walau cinta kadang tak memakai logika, percayalah ketika Anda bermain saham, rasio harus dikedepankan.
Tanpa logika, alih-alih untung, malah buntung yang menghampiri.
PS: Kolom ini sudah meluncur di CNNIndonesia.com pada Jumat, 29 Januari 2021.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210128183936-79-599688/saham-ini-kadang-kadang-tak-ada-logika
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
My Work- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar