Rakyat Indonesia tiba-tiba seperti tersihir oleh dunia persepakbolaan dengan lolosnya Timnas Indonesia ke partai final Piala AFF Suzuki 2010. Dunia persepakbolaan yang sepi publikasi dalam infotainment, seolah-olah langsung menjadi primadona infotainment, semua acara berlomba-lomba menayangkan keluarga hingga kekasih dari pemain timnas, yang pada mulanya mungkin bukan siapa-siapa. Hingar bingar perayaan kemenangan dimana-mana.
Perlu diingat lagi, semua perayaan terjadi ketika timnas menang babak semifinal dan belum menjadi juara. Ibaratnya, jika di panggung persepakbolaan internasional, Piala AFF mungkin sejajar dengan tingkat kecamatan atau bahkan kelurahan, masih jauh dari peringkat pertama dunia. Tetapi tetap kita perlu acungi jempol kepada tim asuhan Alfred Riedl ini. Dari tujuh laga, Indonesia memenangkan enam diantaranya, walaupun kemenangan itu hanya membawa Indonesia menduduki peringkat kedua.
Bukan hanya rakyat yang tersihir, para pemain panggung politik pun berlomba-lomba mencari muka dalam dunia persepakbolaan. Dari mulai mengundang sarapan bersama hingga mengunjungi ketika timnas berlatih. Kini, dunia persepakbolaan dijadikan ajang politik juga. Dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok politik tertentu adalah kalimat yang paling pas menggambarkan bagaimana keadaan persepakbolaan di Indonesia. Dan hebatnya hal tersebut sudah terjadi dari tahun ke tahun.
Harus segera dilakukan pembenahan. Pembenahan yang dimaksudkan bukan hanya terhadap kualitas para pemaim dan pelatih, tetapi juga terhadap kinerja Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama PSSI, dimana timnas bernaung. Sejak tahun 2003, PSSI terlihat “kering”. Indonesia bahkan sempat dikalahkan tim anak bawang ASEAN, Laos. Dalam FIFA Indonesia menduduki peringkat 91 dunia, ketika tahun 2003 posisi Indonesi terus melesat turun hingga sekitar 130an, dan sejak menjadi runner up Piala AFF 2010 ini, peringkat Indonesia menjadi 127.
Pembenahan yang pertama kali harus dilakukan adalah mengganti posisi Ketua Umum PSSI, yang hingga kini masih diduduki Nurdin Halid. Sang lakon utama ini terjerat kasus kriminal, sempat tersandung masalah penyelundupan 73 ribu ton gula dan dipenjara selama 2 tahun. Dan setelah keluar dari penjara, ia tidak berhenti dari posisi ketua PSSI, padahal ada peraturan dari FIFA bahwa melarang siapapun yang pernah terlibat kejahatan menjadi pemimpin organisasi anggota FIFA.
Sang kancil yang cerdik, dengan akal panjangnya, ia berhasil duduk nyaman dalam posisinya. Padahal dengan tindakannya seperti itu, FIFA dapat mengambil tindakan keras, dan melarang Indonesia untuk bermain di kancah internasional. Ancaman FIFA tentu bukan sebagai ancaman belaka. Nigeria adalah negara yang pernah mengalami hukuman FIFA tersebut, Oktober lalu. Jika dia seorang pemimpin yang bijak dan tidak egois, tentu dia mau mengundurkan diri demi kepentingan bangsa. Namun tampak nya hatinya sudah mati akan kekuasaan dan materi.
Bukan hanya masalah perilaku dari sang “raja”, tetapi kinerja PSSI pun semakin carut marut. Dari mulai kegagalan dalam laga internasional hingga penyelengaraan liga dalam negeri. Banyak keputusan yang tidak tegas. Setelah pelanggaran diberikan, bisa tak lama kemudian keputusan itu ditarik kembali. Seringnya terjadi kejadian tersebut, membuat banyak orang berspekulasi, bahwa dibalik semua keputusan tersebut terjadi suap menyuap wasit dan orang-orang dibelakang layar lainnya.
Kelakuan sang “raja” tidak cukup jika sampai situ saja. Dia mulai bertindak lagi ketika laga Piala AFF dimulai dan Indonesia sedang muncul bintang terangnya. Ia membuat PSSI terlihat sebagai sarang salah satu partai politik, sebut saja Partai Beringin. Dari mulai Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, Sekjen hingga beberapa pengurus PSSI adalah kader dari Partai Beringin. Bahkan Wakil Ketua Umum PSSI adalah adik kandung dari Ketua Umum Partai Beringin. Dan Nurdin pun membantu sang Ketua Umum Partai Beringin tersebut mencuri popularitas dari persepakbolaan Indonesia yang tengah naik pamor.
Segala cara dilakukan untuk mencuri perhatian. Timnas Indonesia, sebelum keberangkatannya ke Bukit Jalil untuk menghadapi first leg Final Piala AFF, diundang atau mungkin lebih tepatnya diajak Nurdin Halid sang Ketua Umum PSSI untuk sarapan di rumah Ketua Umum Partai Beringin, Aburizal Bakrie. Ternyata bukan hanya makan pagi yang diberikan oleh sang tuan rumah, uang bonus sebesar 2,5 miliar dan tanah seluas 25 hektare di Jonggol, Jawa Barat untuk dijadikan tempat latihan PSSI diberikan secara “cuma-cuma”.
Perebutan pamor atau persaingan popularitas sedang terjadi antara kubu Partai Beringin dengan kubu partai –sebut saja Partai Biru– yang saat ini sedang duduk di singgasana tertinggi negara ini, presiden. Aburizal Bakrie versus Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Persaingan yang dari hari ke hari semakin jelas terlihat. Sebelum acara undangan “sarapan berhadiah”, lakon utama dari Partai Biru, yaitu SBY sudah terlebih dahulu mengunjungi timnas yang sedang berlatih di Senayan. Dan memuji-muji timnas di depan mahasiswa ITS, tempat dia memberikan kuliah umum.
Tidak hanya sampai disitu saja aksi dari perebutan popularitas tersebut. Hingga ke negara tetangga pun mereka tetap meluncurkan aksi meraka. Di Stadion Bukit Jalil, Malaysia terpampang beberapa spanduk yang berukuran cukup besar. Dari mulai spanduk SBY hingga Nurdin. Benar-benar terlihat perlombaan cari muka. Tetapi hingga kini, belum diketahui secara jelas pihak mana yang telah menenpel spanduk-spanduk “cari muka” tersebut.
Selain ulah “iseng” pemasang spanduk. Timnas Indonesia juga telah dipecundangi oleh Malaysia dengan skor 3-0. Rakyat hanya bisa tertunduk lemas melihat tim kesayangan mereka “dihabisi” oleh Malaysia. Dan mereka hanya bisa berharap bahwa bisa terjadi keajaiban dalam laga kedua di tanah air.
Dan ketika di dalam negeri, masalah bukan datang dari para politikus yang sedang mencuri popularitas, bukan juga dari suporter yang kecewa, tetapi datang dari PSSI kembali. Mereka memberikan harga tiket yang terlampau mahal dan jika dibandingkan dengan laga final pertama di negara tetangga, harga tiket sangat berbeda jauh. Tentunya dibalik ini semua, ada permainan sang ketua umum, Nurdin Halid memiliki andil yang besar. Presiden pun hingga turun tanggan mengatakan agar harga tiket diturunkan. Seolah-olah tuli, Nurdin tidak mengubris saran dari pemimpin tertinggi negeri ini. Dan akhirnya Ketua Umum Partai Beringin mengatakan kepada Nurdin untuk menurunkan harga. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Nurdin pun langsung menuruti perintah “majikannya” tersebut.
Dan tetap hasil yang didapat dari pertandingan tersebut Indonesia menang tetapi kalah dalam jumlah gol dan harus puas dengan posisi kedua. Dan para penonton seusai pertandingan terus berteriak agar Nurdin turun. Tetapi seolah tidak mendengar dan melihat spanduk “ganyang Nurdin” di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Nurdin tetap tidak mau turun dari singgasanannya, mungkin terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
Sebelumnya, setelah pertandingan pertama di Bukit Jalil, pelatih timnas sempat memberikan konferensi pers yang isinya mengatakan bahwa para pemain tidak dapat fokus latihan, karena ketika di tanah air terlalu di elu-elukan dan diajak mengungjungi acara-cara yang “berkedok” yang sebenarnya hanya pemanfaatan dari kelompok politik tertentu.
Seakan kena tegur dari “kepala” diatas , tak lama kemudian Riedl membuat konferensi pers lagi, tetapi yang isinya bertentangan dari konferensi pers pertama yang dia lakukan. Secepat itu pernyataan seseorang berubah. Tentu pihak-pihak yang merasa disalahkan tidak dapat menerima hal tersebut karena akan merusak citra politik mereka. Maka mereka mengintervensi Riedl. Entah apa yang diinginkan para petinggi di negara ini. Indonesia hanya dijadikan ajang pertandingan politik mereka, dan mengabaikan masayarat banyak. Apakah orang-orang seperti itu yang harus memimpin negara ini? jika iya, maka jangan pernah mengharapkan ada perubahan yang signifikan dari Indonesia, baik dari persepakbolaan hingga moral para pemimpin yang hingga saat ini harus dipertanyakan.
Agnes Savithri
6 Januari 2011
Komentar
Posting Komentar